BIDAN

Kegawatdaruratan, Badai Pasti Berlalu

03 June 2021 Erlin 17305

Oleh Holfia Aningrum, A.Md.Keb

Nusantara Sehat Tim Batch XIV

Penempatan Puskesmas Entikong Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat

 

 

Sore itu aku mendapat jadwal piket puskesmas, tepatnya di bulan Ramadhan. Keadaan puskesmas sunyi karena tidak ada pasien rawat inap. Aku dan teman perawatku berjaga dan persiapan buka puasa di dapur puskesmas. 10 menit sebelum berbuka puasa tiba-tiba terdengar suara mobil pengangkut sawit memecah kesunyian dari arah depan IGD.

“Waduhhh….” Gumamku kepada kawan piketku.

“Sepertinya ada pasien itu holfi” kata kawanku.

“Iya nih kak, jangan-jangan dari hulu” tambahku.

Hulu merupakan sebutan kami untuk daerah yang berada di hulu sungai wilayah kerja puskesmas. Daerah ini merupakan daerah yang cukup jauh dan akses yang sulit dijangkau, hanya motor dan mobil dengan ban khusus yang bisa menjangkaunya. Keadaan jalan yang masih berbatu dan kadang berlumpur dikala hujan, dan tak jarang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki.

Rasa penasaran dan was-was dalam hati kami terus berdebar, dengan jalan cepat kami segera menuju ke sumber suara mobil itu. Benarlah dugaan kami! Seorang ibu yang terbaring di bagian belakang mobil. Ibu itu terus berteriak-teriak kesakitan karena kontraksi.

“adduuuuhhh sakittt” teriak ibu.

“Bu gimana ini?” tanya suami

“Iya sebentar ya pak, kita coba pindahin ya…”jawabku.

“Ibu bisa duduk nggak?” tanyaku.

“Bisa bu” Dengan menahan sakit ibu itu menjawab.

“Oh ya udah ibu kalau perutnya gak sakit ibu coba duduk dulu ya, pelan-pelan turun dari mobil dan pindah ke kursi roda” pintaku.

Pelan-pelan ibu mengikuti instruksi dan berhasil pindah ke kursi roda. Dengan pelan-pelan ku dorong kursi roda tersebut ke ruang bersalin dan menempatkan ibu di bed bersalin. Jantungku berdetak dengan kuat seolah akan ada sesuatu hal terjadi. Sore itu perasaanku tak enak tak seperti biasanya aku menerima pasien bersalin. Seperti biasa aku menanyakan buku KIA kepada ibu dan suami.

“Punya buku hamilkah?” tanyaku.

“Ada buk” jawab ibu dan suami segera menyerahkan buku tersebut kepadaku.

Sore itu aku bidan jaga sendiri karena bidan senior masih izin pulang persiapan buka di rumah. Dengan teliti aku mebaca identitas ibu dan riwayat pemeriksaan hamil ibu. Ibu ternyata sudah berusia 41 tahun, kehamilan yang ke 3 dan kudapati hanya tercatat 3 kali periksa dan terakhir periksa pada usia hamil 24-25 minggu atau 5-6 bulan masa kehamilan. Kaget aku melihat buku pemeriksaan tersebut. Seperti biasa aku menganamnesa ibu sambil memeriksa tanda-tanda vital ibu. Sejauh ini tanda-tanda vital bagus hanya saja tekanan darah ku dapati agak tinggi yaitu 145/90 mmHg.

Pikiranku masih positif

“Ohh mungkin karena keadaan ibu belum stabil”

Aku berencana mengulang pemeriksaan tekanan darah ibu. Selanjutnya aku melakukan pemeriksaan perut dengan palpasi leopold. Aku pun ragu dengan hasilnya karena bagian atas terasa bulatan keras dan bagian bawah teraba bulatan lebar lunak dan tidak bisa ku gerakkan.

“Waduhhhh” gumamku.

Lalu ku lanjutkan dengan memeriksa detak jantung janin, punctum maksimum berada disejajar pusat ibu dan detak jantung janin terdengar teratur, makin bertambah rasa penasaranku. Lalu aku melanjutkan dengan pemeriksaan dalam, pelan-pelan aku memasukkan jari tengah dan berkomunikasi dengan ibu untuk mengambil nafas.

“Ibukk ambil nafas dalam yaa!” instruksiku.

Saat aku melakukan pemeriksaan dalam aku kaget karena yang aku raba bukanlah tanda-tanda kepala melainkan bagian-bagian kecil tidak rata dan pembukaan mulut rahim sudah 5-6 cm dengan keadaan portio yang tipis sekali. Setelah melakukan pemeriksaan dan aku menduga itu adalah presentasi tangan atau kaki. Tanpa berpikir panjang aku menelpon bidan kawan jagaku dan ibu bidan senior di puskesmasku. Keadaan pasien aku jelaskan melalui telpon, sembari menunggu aku menyiapkan alat-alat dan memandu ibu untuk memiring kiri dan mengajarkan cara relaksasi dan meminta ibu untuk tidak meneran dulu. Syukur alhamdulillah, ibu kooperatif.

Setelah menunggu beberapa saat ibu Utin, kak Eka dan bu Kurmi sebagai bidan senior datang untuk membantu proses persalinan. Bu Utin memasang skort dibadannya dan memakai sarung tangan steril untuk memeriksa penambahan pembukaan mulut rahim.

“Mbak ini udah lengkap, ayo kita segera bertindak” perintah bu Utin.

Pasien kami posisikan litotomi (posisi kedua kaki terbuka tungkai diangkat dan lutut ditekuk). Ibu utin sebagai penolong utama persalinan, kak eka dan aku yang memantau detak jantung janin dan memantau keadaan ibu. Sedangkan bu kurmi bersiap untuk menerima bayi saat lahir. Alat resusitasi bayi, oksigen dan alat suction di dekat infantwarmer sudah siap, antisipasi jika terjadi asfiksia pada bayi.

Sudah sekitar 15 menit ibu dipandu untuk meneran, bayi tak kunjung lahir. Pemantauan detak jantung janin tetap kami lakukan, hasil permeriksaan sejauh ini masih dalam keadaan normal. Lalu muncul kontraksi pada ibu,

“Ayo buk, sekarang tarik nafas, tahan, teran buukkk” teriakku.

Ibu meneran dengan kuat dan keluarlah seluruh bagian kaki, hingga pantat. Dengan sigap bu utin menangkap kaki, dan memegang erat kedua paha bayi dan melahirkan bokong bayi hingga bagian kepala dan lahirlah seluruh bagian bayi.

“Oeee… oeee… oeeek” suara bayi memecah ketegangan malam itu.

“Alhamdulillaaah” ucap kami semua.

Setelah itu dilakukan prosedur selanjutnya klem dan potong tali pusat dan menempatkan bayi di infantwarmer. Bu Kurmi yang mengurus bayi saat itu, tidak dilakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) karena keadaan belum memungkinkan. Penyuntikan oxytocin sudah dilakukan, ibu Utin menyerahkan pekerjaan selanjutnya ke kak Eka untuk melahirkan plasenta/tembuni yang masih ada di dalam rahim ibu. Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB, sudah 10 menit dari bayi lahir namun plasenta belum kunjung lahir, lalu dilakukan penyuntikan oxytocin ke dua. Kak Eka tetap melakukan PTT (Penegangan Tali Pusat Terkendali) saat ada kontraksi. Sudah 25 menit berlalu namun belum ada tanda pelepasan plasenta, hanya sedikit darah yang keluar dari jalan lahir.

“Bu, masih berat nih bu, tali pusat masih tertarik ke dalam” kata kak Eka kepada bu Utin.

“Pasang Infus jak” perintah bu Utin.

“Baik bu” jawabku.

Lalu aku menginfus ibu dan infus menetes dengan lancar. Saat itu keadaan ibu dalam batas normal dan mengikuti semua apa yang kami lakukan dari awal. Ibu dan suami pun sudah memahami penjelasan dan menandatangani informed concent. Setelah 30 menit berlalu kak Eka meminta pendapat untuk dilakukan manual plasenta. Lalu kami semua setuju dan menjelaskan kepada ibu dan suami tentang prosedur manual plasenta. Terlihat jelas raut wajah ibu dan suami pasrah.

“Saya akan mencoba mengambil tembuni dengan tangan saya ya buk, rasanya tidak nyaman, ibu dan bapak berdoa ya” Ujar kak Eka.

Lalu dilakukanlah prosedur manual palsenta tersebut. Proses berjalan sekitar 10 menit namun plasenta belum juga berhasil dikeluarkan.

“Bu Utin, coba bu Utin yang melanjutkan, ini ada yang sangat menempel bu, susah” kata kak Eka.

 Lalu Bu Utin yang melanjutkan prosedur dan dengan teliti serta terlihat keringat menetes diwajah bu Utin dalam melakukan prosedur.

“Wah, iya nih lengket benar” Ujar bu Utin.

“Fi infus agak dicepatkan ya” perintah bu Utin kepadaku.

“Baik bu” jawabku.

Lalu aku menggeser pengatur infus ke arah atas dan menaikkan tetesan yang awalnya 20 tetes per menit menjadi 30 tetes per menit. Ketegangan bertambah malam itu Ketika plasenta tak kunjung lahir-lahir. Bu Utin dengan berhati-hati melakukan manual, lalu beberapa menit kemudian akhirnya plasenta berhasil diambil dari dalam rahim dengan keadaan yang sudah tidak utuh lagi. Bu Utin lalu mengeksplorasi untuk memastikan tidak ada plasenta yang tersisa dalam rahim. Semua tindakan berjalan dengan lancar malam itu, hal yang kami syukuri malam itu adalah ibu dan keluarga yang mau kooperatif. Setelah tindakan sudah dilakukan, aku bertugas memantau perdarahan ibu saat itu. Syukur Alhamdulillah tidak terjadi perdarahan dan komplikasi lainnya.

Malam itu sungguh malam yang sangat bersejarah dan bermakna dalam hidupku, dimana 2 nyawa yang menjadi pertaruhan jika tidak dilakukan tindakan dengan segera dan prosedur dengan tepat. Kasus gawat darurat yang tidak mungkin dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan karena mempertimbangkan berbagai hal, terutama rujukan yang memakan waktu 1,5-2 jam jalur darat. Puskesmas Entikong berada di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, kecamatan terjauh di kabupaten Sanggau. Fasilitas yang tersedia di Puskesmas Entikong bisa dibilang cukup lengkap, hanya saja kurang operator. Penggantinya adalah seorang dokter khusus penanganan gawat darurat kebidanan karena dokter yang dulu bertugas sebagai dokter PONED sudah pindah.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus tersebut adalah kasus kegawatdaruratan sewaktu-waktu akan terjadi, mau tidak mau, suka tidak suka harus dihadapi dan ditangani. Kesiapan diri baik kesiapan ilmu yang didapat dibangku kuliah maupun pelatihan harus dipelihara dan dipraktikkan. Pengalaman sangat penting dan kejadian malam itu akan menjadi pengalaman yang langkah dan memang terbukti benar kata pepatah yang berbunyi “Pengalaman Adalah Guru Terbaik”. Salam Sejawat, Tetap Rendah Hati, Optimis dan Kita Pasti Bisa!.



Tentang Penulis

Erlin

Bidan


2 Komentar

murtiningsihHari ini

Bismillah tetap semangat teman sejawat...semua bidan yg bekerja semua pernah merasakan bagaimana stresnya menghadapi kegawat daruratan

Balas

Anis Marlianda2021-07-02

Saya bidan Nusantara sehat yang ingin mengabdi pada Nusa dan bangsa Indonesia

Balas

Tinggalkan Komentar