Oleh Holfia Aningrum, A.Md.Keb
Nusantara Sehat Tim Batch XIV
Penempatan Puskesmas Entikong Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat
Sore itu aku mendapat jadwal
piket puskesmas, tepatnya di bulan Ramadhan. Keadaan puskesmas sunyi karena
tidak ada pasien rawat inap. Aku dan teman perawatku berjaga dan persiapan buka
puasa di dapur puskesmas. 10 menit sebelum berbuka puasa tiba-tiba terdengar suara
mobil pengangkut sawit memecah kesunyian dari arah depan IGD.
“Waduhhh….” Gumamku kepada
kawan piketku.
“Sepertinya ada pasien itu
holfi” kata kawanku.
“Iya nih kak, jangan-jangan
dari hulu” tambahku.
Hulu merupakan sebutan kami
untuk daerah yang berada di hulu sungai wilayah kerja puskesmas. Daerah ini
merupakan daerah yang cukup jauh dan akses yang sulit dijangkau, hanya motor
dan mobil dengan ban khusus yang bisa menjangkaunya. Keadaan jalan yang masih
berbatu dan kadang berlumpur dikala hujan, dan tak jarang hanya bisa diakses
dengan berjalan kaki.
Rasa penasaran dan was-was
dalam hati kami terus berdebar, dengan jalan cepat kami segera menuju ke sumber
suara mobil itu. Benarlah dugaan kami! Seorang ibu yang terbaring di bagian
belakang mobil. Ibu itu terus berteriak-teriak kesakitan karena kontraksi.
“adduuuuhhh sakittt” teriak
ibu.
“Bu gimana ini?” tanya suami
“Iya sebentar ya pak, kita
coba pindahin ya…”jawabku.
“Ibu bisa duduk nggak?”
tanyaku.
“Bisa bu” Dengan menahan
sakit ibu itu menjawab.
“Oh ya udah ibu kalau
perutnya gak sakit ibu coba duduk dulu ya, pelan-pelan turun dari mobil dan
pindah ke kursi roda” pintaku.
Pelan-pelan ibu mengikuti
instruksi dan berhasil pindah ke kursi roda. Dengan pelan-pelan ku dorong kursi
roda tersebut ke ruang bersalin dan menempatkan ibu di bed bersalin. Jantungku
berdetak dengan kuat seolah akan ada sesuatu hal terjadi. Sore itu perasaanku
tak enak tak seperti biasanya aku menerima pasien bersalin. Seperti biasa aku
menanyakan buku KIA kepada ibu dan suami.
“Punya buku hamilkah?” tanyaku.
“Ada buk” jawab ibu dan
suami segera menyerahkan buku tersebut kepadaku.
Sore itu aku bidan jaga
sendiri karena bidan senior masih izin pulang persiapan buka di rumah. Dengan
teliti aku mebaca identitas ibu dan riwayat pemeriksaan hamil ibu. Ibu ternyata
sudah berusia 41 tahun, kehamilan yang ke 3 dan kudapati hanya tercatat 3 kali
periksa dan terakhir periksa pada usia hamil 24-25 minggu atau 5-6 bulan masa
kehamilan. Kaget aku melihat buku pemeriksaan tersebut. Seperti biasa aku
menganamnesa ibu sambil memeriksa tanda-tanda vital ibu. Sejauh ini tanda-tanda
vital bagus hanya saja tekanan darah ku dapati agak tinggi yaitu 145/90
mmHg.
Pikiranku masih positif
“Ohh mungkin karena keadaan
ibu belum stabil”
Aku berencana mengulang
pemeriksaan tekanan darah ibu. Selanjutnya aku melakukan pemeriksaan perut
dengan palpasi leopold. Aku pun ragu dengan hasilnya karena bagian atas terasa
bulatan keras dan bagian bawah teraba bulatan lebar lunak dan tidak bisa ku
gerakkan.
“Waduhhhh” gumamku.
Lalu ku lanjutkan dengan memeriksa
detak jantung janin, punctum maksimum berada disejajar pusat ibu dan detak
jantung janin terdengar teratur, makin bertambah rasa penasaranku. Lalu aku
melanjutkan dengan pemeriksaan dalam, pelan-pelan aku memasukkan jari tengah
dan berkomunikasi dengan ibu untuk mengambil nafas.
“Ibukk ambil nafas dalam
yaa!” instruksiku.
Saat aku melakukan pemeriksaan
dalam aku kaget karena yang aku raba bukanlah tanda-tanda kepala melainkan
bagian-bagian kecil tidak rata dan pembukaan mulut rahim sudah 5-6 cm dengan
keadaan portio yang tipis sekali. Setelah melakukan pemeriksaan dan aku menduga
itu adalah presentasi tangan atau kaki. Tanpa berpikir panjang aku menelpon
bidan kawan jagaku dan ibu bidan senior di puskesmasku. Keadaan pasien aku
jelaskan melalui telpon, sembari menunggu aku menyiapkan alat-alat dan memandu
ibu untuk memiring kiri dan mengajarkan cara relaksasi dan meminta ibu untuk
tidak meneran dulu. Syukur alhamdulillah, ibu kooperatif.
Setelah menunggu beberapa
saat ibu Utin, kak Eka dan bu Kurmi sebagai bidan senior datang untuk membantu
proses persalinan. Bu Utin memasang skort dibadannya dan memakai sarung tangan
steril untuk memeriksa penambahan pembukaan mulut rahim.
“Mbak ini udah lengkap, ayo
kita segera bertindak” perintah bu Utin.
Pasien kami posisikan
litotomi (posisi kedua kaki terbuka tungkai diangkat dan lutut ditekuk). Ibu
utin sebagai penolong utama persalinan, kak eka dan aku yang memantau detak
jantung janin dan memantau keadaan ibu. Sedangkan bu kurmi bersiap untuk
menerima bayi saat lahir. Alat resusitasi bayi, oksigen dan alat suction di
dekat infantwarmer sudah siap,
antisipasi jika terjadi asfiksia pada bayi.
Sudah sekitar 15 menit ibu
dipandu untuk meneran, bayi tak kunjung lahir. Pemantauan detak jantung janin
tetap kami lakukan, hasil permeriksaan sejauh ini masih dalam keadaan normal.
Lalu muncul kontraksi pada ibu,
“Ayo buk, sekarang tarik
nafas, tahan, teran buukkk” teriakku.
Ibu meneran dengan kuat dan
keluarlah seluruh bagian kaki, hingga pantat. Dengan sigap bu utin menangkap
kaki, dan memegang erat kedua paha bayi dan melahirkan bokong bayi hingga
bagian kepala dan lahirlah seluruh bagian bayi.
“Oeee… oeee… oeeek” suara
bayi memecah ketegangan malam itu.
“Alhamdulillaaah” ucap kami
semua.
Setelah itu dilakukan
prosedur selanjutnya klem dan potong tali pusat dan menempatkan bayi di infantwarmer.
Bu Kurmi yang mengurus bayi saat itu, tidak dilakukan IMD (Inisiasi Menyusu
Dini) karena keadaan belum memungkinkan. Penyuntikan oxytocin sudah dilakukan,
ibu Utin menyerahkan pekerjaan selanjutnya ke kak Eka untuk melahirkan plasenta/tembuni
yang masih ada di dalam rahim ibu. Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB, sudah 10
menit dari bayi lahir namun plasenta belum kunjung lahir, lalu dilakukan
penyuntikan oxytocin ke dua. Kak Eka tetap
melakukan PTT (Penegangan Tali Pusat Terkendali) saat ada kontraksi. Sudah 25
menit berlalu namun belum ada tanda pelepasan plasenta, hanya sedikit darah
yang keluar dari jalan lahir.
“Bu, masih berat nih bu,
tali pusat masih tertarik ke dalam” kata kak Eka kepada bu Utin.
“Pasang Infus jak” perintah
bu Utin.
“Baik bu” jawabku.
Lalu aku menginfus ibu dan
infus menetes dengan lancar. Saat itu keadaan ibu dalam batas normal dan
mengikuti semua apa yang kami lakukan dari awal. Ibu dan suami pun sudah
memahami penjelasan dan menandatangani informed concent. Setelah 30
menit berlalu kak Eka meminta pendapat untuk dilakukan manual plasenta. Lalu
kami semua setuju dan menjelaskan kepada ibu dan suami tentang prosedur manual
plasenta. Terlihat jelas raut wajah ibu dan suami pasrah.
“Saya akan mencoba mengambil
tembuni dengan tangan saya ya buk, rasanya tidak nyaman, ibu dan bapak berdoa
ya” Ujar kak Eka.
Lalu dilakukanlah prosedur
manual palsenta tersebut. Proses berjalan sekitar 10 menit namun plasenta belum
juga berhasil dikeluarkan.
“Bu Utin, coba bu Utin yang
melanjutkan, ini ada yang sangat menempel bu, susah” kata kak Eka.
Lalu Bu Utin yang melanjutkan prosedur dan
dengan teliti serta terlihat keringat menetes diwajah bu Utin dalam melakukan
prosedur.
“Wah, iya nih lengket benar”
Ujar bu Utin.
“Fi infus agak dicepatkan
ya” perintah bu Utin kepadaku.
“Baik bu” jawabku.
Lalu aku menggeser pengatur
infus ke arah atas dan menaikkan tetesan yang awalnya 20 tetes per menit
menjadi 30 tetes per menit. Ketegangan bertambah malam itu Ketika plasenta tak
kunjung lahir-lahir. Bu Utin dengan berhati-hati melakukan manual, lalu
beberapa menit kemudian akhirnya plasenta berhasil diambil dari dalam rahim
dengan keadaan yang sudah tidak utuh lagi. Bu Utin lalu mengeksplorasi untuk
memastikan tidak ada plasenta yang tersisa dalam rahim. Semua tindakan berjalan
dengan lancar malam itu, hal yang kami syukuri malam itu adalah ibu dan
keluarga yang mau kooperatif. Setelah tindakan sudah dilakukan, aku bertugas
memantau perdarahan ibu saat itu. Syukur Alhamdulillah tidak terjadi perdarahan
dan komplikasi lainnya.
Malam itu sungguh malam yang
sangat bersejarah dan bermakna dalam hidupku, dimana 2 nyawa yang menjadi
pertaruhan jika tidak dilakukan tindakan dengan segera dan prosedur dengan
tepat. Kasus gawat darurat yang tidak mungkin dilakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan lanjutan karena mempertimbangkan berbagai hal, terutama rujukan yang memakan
waktu 1,5-2 jam jalur darat. Puskesmas Entikong berada di perbatasan antara
Indonesia dan Malaysia, kecamatan terjauh di kabupaten Sanggau. Fasilitas yang
tersedia di Puskesmas Entikong bisa dibilang cukup lengkap, hanya saja kurang
operator. Penggantinya adalah seorang dokter khusus penanganan gawat darurat
kebidanan karena dokter yang dulu bertugas sebagai dokter PONED sudah pindah.
Pelajaran yang dapat kita
ambil dari kasus tersebut adalah kasus kegawatdaruratan sewaktu-waktu akan
terjadi, mau tidak mau, suka tidak suka harus dihadapi dan ditangani. Kesiapan
diri baik kesiapan ilmu yang didapat dibangku kuliah maupun pelatihan harus
dipelihara dan dipraktikkan. Pengalaman sangat penting dan kejadian malam itu
akan menjadi pengalaman yang langkah dan memang terbukti benar kata pepatah
yang berbunyi “Pengalaman Adalah Guru Terbaik”. Salam Sejawat, Tetap Rendah
Hati, Optimis dan Kita Pasti Bisa!.
murtiningsihHari ini
Bismillah tetap semangat teman sejawat...semua bidan yg bekerja semua pernah merasakan bagaimana stresnya menghadapi kegawat daruratan
BalasAnis Marlianda2021-07-02
Saya bidan Nusantara sehat yang ingin mengabdi pada Nusa dan bangsa Indonesia
Balas