Lonjakan kasus campak di Indonesia saat ini mulai meningkat. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan Indonesia telah mencatat 3.341 total kasus campak sepanjang 2022 di 223 kabupaten dan kota dari 31 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat 32 kali lipat dibanding kasus yang tercatat pada tahun sebelumnya. Berdasarkan data Kemenkes, terdapat 34 kabupaten dan kota dari 12 Provinsi yang telah menetapkan campak sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), yaitu Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Pada bulan Juli 2020, WHO dan UNICEF menyerukan bahwa terjadi penurunan yang mengkhawatirkan dalam jumlah anak yang menerima imunisasi, dikarenakan pembatasan mobilitas dan terganggunya layanan kesehatan esensial selama pandemi COVID-19.
Campak merupakan penyakit yang sangat menular dan disebabkan oleh infeksi virus campak yang ditularkan melalui perantara droplet. Gejala pada campak diawali dengan demam tinggi, pilek, batuk, kehilangan nafsu makan, dan konjungtivitis. Sebelum adanya pengenalan vaksin campak pada tahun 1963, kasus campak rata-rata mencapai 549.000 kasus campak dan 495 kematian setiap tahun. Hampir seluruh orang Amerika terkena campak dan diperkirakan terdapat 3-4 juta kasus campak setiap tahunnya. Setelah pelaksanaan program vaksin campak dosis satu, terjadi penurunan yang signifikan dalam kasus campak di Amerika Serikat selama tahun 1980-an.
Pada akhir 1980-an, wabah campak masih
terjadi pada anak-anak usia sekolah yang telah menerima dosis satu vaksin
campak. Sehingga pada tahun 1989, dosis kedua vaksinasi campak mulai
direkomendasikan. Selama 1989-1991, kasus campak dilaporkan lebih dari 55.000
kasus dan 123 kematian. Penyebaran ini ditandai oleh kasus pada usia
pra-sekolah anak-anak kurang mampu yang tidak vaksin dosis satu tepat waktu.
Peningkatan pemberian vaksin dosis satu dan dosis dua secara tepat waktu pada
anak usia sekolah menyebabkan penurunan kasus campak.1
Tenaga
kesehatan kerap mengingatkan orang tua dan keluarga tentang jadwal kunjungan
anak ke Puskesmas atau Posyandu agar anak bisa mendapatkan imunisasi sesuai
jadwal yang direkomendasikan. Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk
memastikan terpenuhinya hak-hak anak untuk tumbuh sehat, bebas dari penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Sebagai orang tua atau pengasuh yang bertanggung jawab, kita perlu tahu alasan pentingnya memastikan anak menerima imunisasi yang lengkap dan tepat waktu. Berikut adalah rangkuman tujuh risiko yang dapat dialami anak, keluarga, dan lingkungannya apabila kebutuhan imunisasi tidak terpenuhi tepat waktu:
6. Risiko
penurunan harapan hidup
Vaksinasi
yang tidak lengkap menyumbang kepada penurunan angka harapan hidup. Sebaliknya,
imunisasi lengkap hingga anak berusia lima tahun dapat meningkatkan angka
harapan hidup. Data menunjukkan bahwa anak yang tidak menerima imunisasi
lengkap lebih mungkin tertular berbagai penyakit saat masih kanak-kanak,
sehingga angka harapan hidupnya pun menurun. Di
Papua Barat, dari tahun 2010 ke tahun 2017, angka harapan hidup meningkat
berkat peran penting dari peningkatan jumlah anak yang mendapatkan imunisasi
lengkap. Di
Brazil, antara tahun 1940 dan 1998, angka harapan hidup saat lahir naik sekitar
30 tahun. Hal ini utamanya disebabkan oleh menurunnya angka kematian
akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
7. Batasan perjalanan dan bersekolah
Beberapa
negara mensyaratkan imunisasi lengkap bagi warga asing yang hendak berkunjung.
Jika tidak diimunisasi, anak dapat kehilangan kesempatan untuk mengenyam
pendidikan di negara-negara ini. Selain
itu, sudah semakin banyak sekolah yang mencantumkan ‘imunisasi lengkap’ sebagai
syarat pendaftaran. Tujuannya adalah agar semua anak dan warga sekolah
terlindung dari penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin dan dengan demikian
anak dapat menikmati hak belajarnya secara penuh di sekolah.
Referensi: